Budaya desa kelahiran ku desa bonjeruk
BUDAYA & ADAT ISTIADAT DESA BONJERUK
Masyarakat Desa Bonjeruk masih terbagi menjadi 3 golongan (kasta), yaitu Bangsawan, Ningrat atau Menak, Pruangse dan Jajar Karang, Bulu Ketujur atau masyarakat biasa. Ketiga golongan ini mempunyai perbedaan dan peran di masyarakat.
Golongan bangsawan adalah keturunan dan keluarga dari Datu (Raja) Jonggat yang dalam masyarakat mereka dipanggil Gde, Raden atau Lalu untuk laki-laki yang belum menikah dan Mamiq kalau mereka sudah menikah. Sedangkan untuk yang perempuan dipanggil Lale baik sebelum maupun sesudah menikah. Untuk golongan Pruangse mereka adalah para pembantu (punggawa) dari Datu (Raja) dan dimasyarakat mereka dipanggil Bape untuk laki-laki yang sudah menikah. Sedangkan untuk yang belum menikah tidak memiliki panggilan. Demikian juga dengan perempuan. Tetapi, untuk nama di sekolah atau diijazahnya yang laki-laki di depan namanya bisa ditambahkan dengan Lalu sedangkan untuk yang perempuan tidak ada. Dan golongan yang ketiga adalah golongan Jajar Karang. Dalam masyarakat mereka dipanggil Amaq untuk laki dan Inak untuk perempuan yang sudah menikah dan punya anak.
Selain dari panggilannya yang berbeda di masyarakat ketiga golongan ini dapat kita ketahui dari segi bahasanya. Untuk golongan bangsawan mereka menggunakan Bahasa Sasak Alus dalam Dialek Sasak . Contoh “ silak pelungguh samian lumbar lek gedeng tiang “ Untuk golongan Pruangsa mereka menggunakan bahasa campuran antara Bahasa Sasak Alus dengan Bahasa Sasak biasa yang digunakan oleh kaum Jajar Karang dalam kesehariannya.contoh “ silak pelinggih datang lek bale”.
Dalam hal adat istiadat yang berlaku di Desa Bonjeruk, masyarakatnya masih tetap memegang teguh awik-awik (aturan) dari papuk-balok (nenek-moyang). Ini dapat disaksikan pada saat acara pernikahan atau perkawinan. Perkenalan teruna (laki-laki) dengan dedara (perempuan/gadis) yang disukainya diawali dengan midang, yaitu laki-laki datang berkunjung ke rumah perempuan. Apabila mereka mau menikah maka yang perempuan harus dilarikan atau diculik dulu kerumah keluarga dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan embait (mengambil/menculik).
Embait ini mempunyai aturan yang telah ditentukan dalam adat. Misalnya, laki-laki tidak boleh embait pada siang hari atau dengan cara memaksa si gadis. Apabila hal ini dilanggar maka kepada laki-laki dikenakan sangsi (denda) pada acara Sorong Serah Aji Kramanya nanti. Memang kalau kita melihat denda ini dari jumlah nominalnya tidak seberapa misalnya untuk penculikan dengan cara memaksa dan menimbulkan keributan dikenakan denda pati sebesar Rp. 49 000,-. Tetapi, makna dan nilainya dari adat yang harus dilihat disini.
Pada saat si gadis yang dilarikan telah sampai di rumah keluarga si laki-laki maka akan disambut dengan acara mangan merangkat (makan bersama untuk menyambut kedatangan pengantin perempuan di rumah pengantin laki-laki dengan lauk pelecing ayam). Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga pengantin perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau nyelabar. Masejati ini berlangsung selama sembilan kali dalam sembilan hari yang bertujuan untuk membicarakan kelajutan upacara-upacara adat perkawinan serta segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perkawinan. Dalam hal ini yang pertama-tama harus diselesaikan adalah acara akad nikah, kemudian jumlah tagihan dari keluarga perempuan dan kapan acara begawe atau kenduri (pesta pernikahan) dilaksanakan.
Pada acara malam begawe inilah kita bisa melihat berbagai macam budaya dan kesenian dipertunjukkan di Desa Bonjeruk baik tradisional maupun yang sudah modern untuk menemani dan menghibur terune-dedare yang sedang tangi (kencan). Seperti gandrung, joget, ale-ale, rudat, cilokak, drama, gong gamelan, band, dan pertunjukkan wayang kulit. Di Desa Bonjeruk masih terdapat satu kelompok (group) wayang kulit yang ceritanya masih asli artinya tidak ada tambahan cerita baru dalam lakonnya, tokoh-tokoh baru atau iklan yang dimasukkan oleh dalang seperti yang sering kita tonton di salah satu TV lokal kita. Sebenarnya masih banyak kesenian lain yang seperti memace daun lontar(membaca dun lontar)ini sudah jarang digunakan,, ngerantok (memukul lesung berbentuk panjang secara bersama-sama.yang dilakukan oleh teruna-dedara), dan bejambek (pemberian hadiah yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada perempuan yang disukainya pada malam orang begawe).
Puncak acara dalam adat pernikahan ini adalah acara Sorong Serah Aji Krama yaitu dari pihak penyorong (keluarga pengantin laki-laki) menyerahkan seperangkat lambang suci adat Sasak kepada pihak pengadap (keluarga pengantin perempuan). Baru setelah itu orang tua pengantin perempuan akan kedatangan keluarga besar pengantin laki-laki. Kedatangan ini disebut nyongkol. Biasanya rombongan nyongkol ini mengenakan pakaian adat Sasak yaitu Lambong dan diiringi oleh Gendang Belek, Kecimol, Gong Gamelan, atau Ale-Ale. Rombongan nyongkol ini disambut oleh keluarga pengantin perempuan yang disebut mendakin dalam Bahasa Sasak.
Acara perkawinan dalam adat istiadat Sasak di Desa Bonjeruk ini ditutup dengan acara bejangu atau balas ones naeyaitu keluarga dari pihak laki-laki datang kerumah keluarga pihak perempuan untuk mempererat tali silaturrahmi. Biasanya acara bejango ini dilakukan sehari atau dua hari setelah acara nyongkol.
Hal unik lain dalam tulisan ini adalah dari segi budaya masyarakat di Bonjeruk yang sulit sekali untuk dirubah. Seperti pada acara perayaan hari besar keagamaan (Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid) ada sebagian masyarakat Desa Bonjeruk yang masih membawa makanan sebagai sesaji ke kuburan. Kepercayaan terhadap animisme (kepercayaan terhadap benda atau pohon tertentu yang mempunyai kekutan gaib), hal-hal yang berbau mistis dan dukun yang bisa menyembuhkan penyakit juga masih tinggi di sebagian masyarakat
Ada satu lagi kepercayaan yang ada di Desa Bonjeruk yang masih belum bisa membuktikan secara medis tetapi dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit, yaitu dengan cara meretuk atau meretos yaitu menarik beberapa helai rambut di kepala terutama yang perempuan. Kalau berbunyi maka penyakitnya akan sembuh. Sementara untuk menangkal adanya kekuatan jahat yang mungkin menganggu di Desa Bonjeruk masih dipercayai dengan cara besembek menggunakan daun sirih, pinang, dan kapur sirih yang telah diinang (mamak) dan dimantrai.
Inilah sedikit tentang budaya adat istiadat yang bisa tuliskan dalam esai yang singkat ini. Penulis berharap kita bisa memelihara budaya dan adat istiadat tersebut untuk kemudian kita wariskan ke generasi berikutnya. Disamping itu, kita bisa memaknai sebagai budaya kearifan lokal Sasak yang sekarang sudah mulai luntur tergeser arus globalisasi. Dan yang terpenting sekarang dari semua itu budaya adat istiadat tersebut harus kita jaga dan lestarikan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan adat yang berlaku.
Komentar
Posting Komentar